Saya masih ingat sekali saat pertama kalinya ditanya oleh seorang guru PLH
di Sekolah Menengah Pertama saya dulu, sekitar tahun 2009. Waktu itu ada sebuah
acara, saya lupa nama acaranya apa. Guru tersebut ditugasi sebagai pemberi
materi, yang disampaikan melalu multimedia, Powerpoint. Sebelum
beliau bertanya sesuatu menyangkut materi yang dibawanya, beliau meminta kami
para siswa-siswi untuk membuat potongan kertas segi empat.
“Siapa orang yang kalian idolakan di dunia ini? Tuliskan satu nama saja
pada sebuah kertas yang tadi sudah disiapkan, lalu gulung kertas itu serapat
mungkin agar tidak ada celah sedikit pun untuk diketahui.” Tanyanya pada kami
sekaligus pembuka materi.
Semuanya langsung
menuliskan siapa idolanya masing-masing. Saya berpikir sejenak, mencari orang
yang pas, karena banyak pula yang saya idolakan pada saat itu. Eits jangan
berpikiran termasuk mengidolakan lawan jenis ya… :D walaupun iya. wkwk
Kemudian saya temukan
satu nama yang akan saya tulis di kertas tersebut, yaitu Ibu Dra. Sri
Handayani, seorang guru IPA favorit sekaligus wali kelas saya kelas 7. Mengapa
saya mengidolakan beliau? Karena sosoknya yang keibuan, cerdas, tegas, teladan
yang baik untuk muridnya.
Saya masih ingat sekali
nasihat beliau, agar setiap hari kita selalu mengacungkan jari untuk bertanya,
untuk lebih aktif dari murid yang lain dan meluangkan waktu untuk lebih banyak
membaca, mengunjungi perpustakaan. Selain itu, selama beliau menjadi wali kelas
saya, selama satu tahun pula kelas saya mendapatkan piala juara kebersihan
tingkat antar kelas. Setiap hari, kami membuka sepatu ketika hendak memasuki
kelas. Ruangan kelas kami sulap menjadi sebuah rumah yang nyaman untuk dihuni.
Jangankan kelas yang lain mau masuk, pun harus membuka sepatu. Hehe Kecuali
guru, tidak diperkenankan membuka sepatu.
Kemudian guru tersebut meminta kami menyebutkan siapa nama yang kami
tuliskan beserta alasannya. Guru itu tersenyum mendengar jawaban kami. Lalu
memberitahu kepada kami, bahwa orang yang patut kita idolakan didunia ini
adalah Nabi besar kita Muhammad saw.
Ketika kita mengidolakan
seseorang pasti kita akan menirukan apa yang ada pada dirinya. Baik cara dia
berpakaian, berpenampilan, bersikap, bertutur kata, pasti kita akan selalu
ingin meniru kehidupan seseorang yang kita idolakan.
Saat itu saya tidak
terlalu mengenal banyak tentang biografi Nabi Muhammad saw. Tetapi meyakini
bahwa dialah utusan Allah untuk semua umat. Ah mungkin sampai sekarang pun ilmu
saya tentang riwayat hidup manusia paling mulia di dunia ini masih sangat minim
sekali.
Izinkan saya bercerita sedikit mengenai buku yang saat ini sedang saya baca
dan pelajari. Buku yang berjudul “Mengali ke Puncak Hati” karya Salim Akhukum
Fillah. Di halaman 39, tertulis bahwa Idola, selalu membawa ideologi. Dari yang
sederhana, ideologi berpakaian. Sampai yang merasuk, ideologi yang menentukan
cara pandang terhadap kehidupan, kemanusiaan, dan peribadahan. Kalau ada kata “cinta”
dalam idola, maka berhati-hatilah. Kata Rasul, Engkau akan bersama yang kau
cintai di akhirat kelak.”
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah
kalian ikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…. (QS. Al A’raf : 3)”
Antum tidak akan pernah
bisa melebihi idola Antum. Ini prinsip, meski ada pengecualian untuk ikhtiar
khusus. Kalau begitu, mengapa tidak pilih idola yang terbaik?
Begitulah paparan singkat dibuku “Mengali ke Puncak Hati” halaman 39. Di
halaman selanjutnya, ada 5 hal yang mesti ada pada anutan (idola) kita.
Pertama, harus jelas bahwa dia adalah tokoh yang memang ada. Kalau nggak ada,
buat apa dianut? Kedua, pernak-pernik kehidupannya harus lengkap tercatat
secara objektif, tanpa bumbu-bumbu palsu dan “pemanis buatan”. Kalau riwayat
hidupnya palsu dan disamarkan, kita juga bisa buat itu untuk siapa pun. Ketiga,
sisi hidupnya sedapat mungkin sesuai dengan kondisi kita. Kalau muke lu jauh,
bagaimana bisa menjiwai? Keempat, ini yang jarang ada, kita pilih kehidupannya
tanpa cacat, terutama di penghujungnya. Kelima, ini yang terpenting, dia harus
benar-benar bisa dan mungkin untuk dicontoh. Soalnya buat apa kalau tidak bisa
dicontoh?
Dilembar berikutnya
lagi, halaman 40 kita akan dibawa untuk mengenal lebih jauh garis besar
dari Nabi Muhammad saw.
Pertama, pasti Antum setuju bahwa Muhammad saw adalah figur sejarah yang
kesejarahannya tak terbantahkan. Beliau bukan tokoh fiktif, rekaan, mitos,
legenda, ataupun cerita rakyat. Beliau benar-benar nyata.
Kedua, tak ada satu pun tokoh sejarah yang riwayat hidupnya, tindak tanduknya,
ucapannya, cara hidupnya, dan seluruh pernik kesehariannya tercatat selengkap
beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan catatan itu pun dibuat seteliti
mungkin, dibersihkan dari praduga, kira-kira dan segala syak. Dan andai kita
pernah membohongi ayam, kambing, atau unta dengan, “kur… kur… kur…” misalnya,
Imam Al Bukhari ataupun Imam Muslim akan mencoret nama kita dari daftar orang
yang dipercaya periwayatannya tentang Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.
Ketiga, ada alasan lain yang membuat seorang Muslim tidak bisa tidak harus
menjadikannya sebagai uswah dan qudwah. Kehidupan beliau begitu multidimensi,
merangkum semua kemuliaan yang harus dimiliki seorang mukmin dalam posisi apa
pun yang ia duduki. Kaya iya, miskin juga sering. Bangsawan iya, tapi hidupnya
menjelata. Suami yang membina rumah tangga dengan satu istri, pernah. Dengan
beberapa istri, juga pernah.
Keempat, malu rasanya kalau harus mengganti posisinya sebagai uswah dengan tokoh
apapun yang tak jelas, apalagi yang jelas punya cacat. Sekali lagi, hanya
beliau satu-satunya tokoh sejarah yang seluruh sisi perjalanan hidupnya lengkap
tercatat, dan sungguh semua itu tanpa cacat!
Kelima, bahwa beliau adalah manusia, tentu menjadi alasan tersendiri untuk
dicontoh umatnya yang juga sama-sama manusia. Ummat ini beruntung, tidak
diperintahkan untuk meneladani “manusia setengah dewa” dalam mitos dan legenda
seperti di Yunani, ataupun meniru para “titisan dewa” dalam Ramayana dan
Mahabharata. Ummat ini “hanya” diperintahkan untuk mencontoh seorang manusia
lain yang berpredikat hamba Allah dan Rasulnya.
“Sesungguhnya telah ada bagi kalian, pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik. Bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, dan hari
akhir. Dan dia banyak mengingat Allah. (QS. Al Ahzab : 21)”
Mengapa beliau layak?
Beliau adalah bukti, bahwa Al Quran pedoman hidup abadi semua manusia yang
datang dari Pencipta-Nya bisa terimplementasi dalam hidup sehari-hari. Kata
‘Aisyah, “Kaana khuluquhul Quran! Akhlaknya adalah Al Quran!”
Siapatah yang menyangsikan akhlaknya sementara sertifikat langit menjaminnya.
“Dan sesungguhnya, engkau berada di atas akhlak yang agung! (QS. Al Qalam :
4)”
Kemarin, saat kita masih santri TKA/TPA, tentu fokus perhatian kita
dari kisah para Nabi adalah keajaiban-keajaiban mukjizat yang luar
biasa. Tapi kini, saatnya kita memfokuskan diri tentang bagaimana tokoh kita
ini melalui masa mudanya, mengisi waktu luangnya, strateginya memecahkan
masalah-masalah pelik, sikapnya menghadapi tekanan-tekanan, bagaimana ia
membentuk jika kepemimpinan, bagaimana ia membangun persahabatan, dan banyak
lain-lainya.
Nah penjelasan dari buku
tersebut semakin meyakinkan saya. Inilah alasan yang tidak ada keraguannya
lagi. Tidak ada didunia ini yang mencatat secara lengkap, akurat, detail dan
teliti tentang biografi Rasulullah yang sepatutnya kita teladani. Semua yang
ada pada dirinya menjadi uswah. Bahkan diamnya Rasulullah pun.
Seorang manusia yang di
dunia bisa menyelamatkan kita dari ajaran yang disampaikannya dan akan
memberikan syafaat dikampung akhirat nanti. Dan di penghujung hidupnya beliau
masih memikirkan kita.
“Ummati… Ummati…
Ummati…”
Benarlah apa yang
disampaikan guru saya tersebut. Bahwa orang yang patut kita idolakan didunia
ini adalah Nabi besar kita Muhammad saw. Dan kini guru saya tersebut yang
bernama Bapak Untung sudah kembali pada pangkuan-Nya. Semoga dipertemukan
dengan Rasulullah, beliau yang telah mengajarkan saya hanya pada Rasulullah lah
yang patut kita idolakan. Semoga menjadi amal jariyah untukmu, Pak.
Jadi, kita sebagai pemuda-pemudi selayaknya mengidolakan, menirukan perjalanan
hidup Nabi Muhammad saw. Mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Mengisi masa muda dengan karya-karya nyata, bukan galau merana karena cinta
semu semata. Menelisik ke dalam hati, menjiwai ke relung diri bahwa pasti kita
akan bersama orang yang kita cintai. Maukah kau dibersamakan dengan Rasulullah
kelak di surga-Nya nanti?
“Seseorang akan bersama orang yang dicintainya” (HR Bukhari dan Muslim).
(dakwatuna.com/hdn)